Friday, May 9, 2014

Orang Pertama

Ibu adalah orang pertama yang saya kangeni saat rumah ini begitu rapi
Ibu adalah orang pertama yang saya kerjai saat rumah ini begitu berantakan dan kotor
Ibu adalah orang pertama yang saya pikirkan saat mencari oleh-oleh
Ibu adalah orang pertama yang saya curigai ketika barang-barang saya berpindah
Ibu adalah orang pertama yang saya cari saat saya sakit
Ibu adalah orang pertama yang saya salahkan saat baju saya terkena lunturan pakaian lain
Ibu adalah orang pertama yang saya kabari pada saat ada kabar baik
Ibu adalah orang pertama yang saya marahi saat saya harus menunggu lama
Ibu adalah orang pertama yang saya ingat saat saya kehabisan uang jajan

 

Ketika selesai membersihkan dan merapikan rumah, saya akan kangen dengan ibuku. Karena dia orang yang sangat bersih dan rapi, tidak seperti saya yang pemalas. Rumah di pel oleh dia setiap hari.

Saat rumah ku begitu kotor dan berantakan, dia orang yg saya tanya kapan mau ke rumahku

Ketika pergi  liburan, dia orang yg paling aku pikirkan untuk dibelikan oleh-oleh

Biasanya ibu selalu memindahkan letak barang-barangku, jadi satu hari saya lupa bahwa saya pernah memindahkan barang tersebut, karena tidak menemukannya, maka ibu lah satu-satunya orang yg saya curigai

Tangan ibu bagaikan tangan seorang dokter, ketika saya sakit perut, dia menempelkan tangan hangatnya ke perutku, dan ajaib sakitnya berkurang

Pernah baju putihku terkena lunturan, dialah orang yang saya salahkan, karena mencampurkan pakaian gelap dengan pakaian putih

Ibuku orang yg super lelet kalau urusan mau bepergian, sehingga membuat kami harus menunggu lama, dari mulai mencuci piring sisa, mencabut kompor gas, ngepel sebelum pergi, dll.

Ketika kuliah, saya harus tinggal di rumah saudara di luar kota, disaat saya benar- benar kehabisan uang jajan, saya tidak berani pinjam dengan keluarga, jadi saya akan meminta ibu mengirimkan uang kepadaku, atau dia akan menelepon saudaraku untuk meminjamkan uang kepadaku.

Sepertinya ibu adalah sasaran empuk buat kemarahan sang anak, dan merupakan tempat naungan sang anak. Apapun itu, we love you, mom!

Happy Mother's day buat para Ibu
Paulina Lay

Shopping

Berbicara soal shopping, wanita mana sih yang tidak suka, tapi saya lebih senang berbelanja sendirian, tidak bersama dengan pria. Saya selalu mengalami hal yang menjengkelkan dan bikin darah tinggi setiap kali berbelanja dengan pasangan.

Jadi uniknya, wanita itu kalau berbalanja semua toko harus dimasuki satu persatu, terkadang tidak satupun yang beli, alasannya warnanya tidak cocok, terlihat gemuk saat dipakai – padahal memang gemuk, bagian ini sempit, bagian itu longgar, ada saja alasannya, padahal kalau menurutku masalah yang paling utama adalah harga. Belum lagi sudah di coba tetap saja tidak di beli – Katanya sih “dicoba aja, kali-kali cocok toh gak bayar kok”.

Beda dengan pria, mereka sudah tau begitu sampai di mall apa yang mau mereka beli, apakah kemeja, t-shirt, baju panjang atau pendek dll, pria akan langsung menuju tempat deretan pakaian yang mereka cari digantung, and mostly,  matanya tidak ‘jelalatan’ kemana-mana.

Satu hari saya ke mal bersama dengan pasangan, dari sepuluh toko yg saya masuki, palingan hanya dapat satu atau dua baju.
Jadi si Eka tanya, “Sebetulnya kamu cari baju kayak apa?”
Saya bilang “gak tau, yah secocok-cocoknya aja”.
Dia speechless, akhirnya dia bilang, “ya sudah kamu milih aja bajunya sendiri, aku nunggu di luar sini aja atau di pojokan sana, aku pusing liatin kamu dan baju-baju itu. Kalo diajak jalan kaki kemana gitu, kamunya ngeluh, tapi jalan di mall seharian gak pernah ngeluh”.

 Dengan segudang kekesalan, saya beranjak pergi meninggalkannya, mengumpat dalam diam, merasa dia tidak perhatian dan tidak pengertian. saya pun tidak mau telepon menanyakan  dia dimana, pokoknya mau menunjukkan kalau sedang marah.
Sampai saatnya dia yang telepon menanyakan apakah saya sudah selesai atau belum, “kalau belum lanjutkan saja, setelah selesai temui aku di sini ya”.
Oh pesannya benar-benar bikin emosi, bikin darah tinggi, apakah dia tidak tau kalau saya sedang marah, benar-benar tidak peka dan sedikitpun tidak merasa berdosa.

 Di hari yang lain, saya mencoba beberapa pakaian dan menanyakan pendapatnya apakah cocok atau tidak untuk dikenakan, lalu jawabnya “yang ini boleh juga” – jawaban yang tidak memuaskan, tidak detail.
“loh kenapa gak jadi diambil? bagus kok!” katanya.  
“kayaknya gak terlalu cocok, lemak di tangan keliatan” jawabku.
Seharian berkeliling tapi tidak ada yang cocok, dan pada akhirnya saya pulang dengan tangan hampa.

 Hari berikutnya saya bertanya lagi padanya, bajunya cocok atau tidak, dengan lugunya dia menjawab, “terserah kamu aja, lagian kalo aku bilang bagus kamu juga gak beli, kalo aku bilang jelek, kamu tetep beli juga, jadi pendapatku gak penting”. Mendengar jawabannya itu bikin saya tertawa geli.

Terkadang saya ingin membalas perbuatannya saat dia memang harus membeli sesuatu, saya melakukan persis seperti yang dia lakukan. Jadi saat dia memilih sepatu atau baju, saya duduk di kursi dan sibuk sendiri dengan hp ditangan, ah senang sekali rasanya. Dia berpesan supaya jangan terlalu jauh, soalnya dia mau tanya pendapatku juga.
“Biasanya kalo aku belanja kamu juga gak mau ikutan masuk, jadi sekarang biar kamu ngerasain sendiri”  jawabku.
“tapi kamu beda sama aku, aku cari memang yang harus aku beli dan gak berlama-lama, lagian kalo kamu bilang jelek juga gak aku beli” jawabnya.
Tapi naluri kepo saya pun keluar, greget, jadi saya bantu pilihkan yang dia butuhkan.

 
Ya bersyukur sekali Eka orang yang cukup pengertian menghadapi makhluk seperti saya, dia juga tidak kapok-kapok anterin saya belanja, meskipun dia berakhir di tempat tongkrongan. Kalaupun dia memang bersedia ‘buntuti’ saya, justru saya yang tidak tega, jadi saya ‘usir’ kemana gitu, daripada nanti kita sama-sama gondok.(pl)