Di akhir Maret 2013, saya bersama dengan seorang teman dimutasikan ke Samarinda. Awalnya merasa senang sekali bisa hidup di kota lain, mumpung masih muda gitu, jadi kapan lagi bisa 'jalan-jalan' gratis. Tapi saya merasa cukup penasaran juga dengan kota yang akan saya datangi, jadi mulailah tiap malam saya browsing internet cari info tentang Samarinda.
Pertama kali saya buka artikel soal Samarinda, yang muncul adalah tentang kotanya yang belum memiliki Bandara yang layak. Jadi katanya bandaranya itu termasuk salah satu bandara yang berbahaya, karena lokasinya berada di sekitar pemukiman penduduk. Jadi kalau mau terbang ke luar provinsi harus melalui bandara Sepinggan Balikpapan. Jarak Balikpapan ke Samarinda via darat itu kurang lebih 3 jam. Mulai down nih, galau jadinya, apa batalin aja ke sananya, secara aku ini punya penyakit mabuk darat, udara, laut. Tapi pada akhirnya saya tetap berangkat juga.
Hari pertama tanggal 25 Maret 2014, sekitar jam 08.00 WIB dari Pontianak menuju Jakarta, karena waktu itu belum tersedia rute direct, sehingga harus transit ber jam-jam di Soekarno Hatta. Kemudian dari Jakarta menuju Balikpapan, tiba disana sudah sekitar jam 17.00 WITA (kebayang kan betapa mahal dan capeknya buat sampai di sana). Belum lagi kejadian koper temen ketinggalan di Jakarta karena kelalaian petugas bandara. Apes se-apes-apes-nya.... jadi malamnya mau gak mau temenku harus balik lagi ke Bandara buat jemput kopernya. Untungnya kami dikasih nginap di kondotel mewah di Balikpapan dengan view laut (biaya nginap ditanggung kantor ya, bukan maskapai penerbangan).
Besoknya tanggal 26 Maret 2013 kami bertolak ke Samarinda, selama perjalanan saya mengamati rumah-rumah dan ruko-ruko di Balikpapan, wow rata-rata ada bangunan di bawah tanahnya, jadi pintu utama berada di lantai 2. Di tengah perjalanan kami mampir untuk makan di tahu Sumedang, aku gak ngerti sih kok bisa rame gitu padahal makanan nya gak murah juga, mungkin karena lokasinya di pertengahan Balikpapan Samarinda kali, jadi digunakan untuk rest area. Parkiran full semua, bangunan nya ada 2 dengan ukuran yang cukup luas, di kiri jalan ada dan di kanan jalan juga ada (berseberangan).
Kemudian kami melanjutkan perjalanan, saya melirik jam tangan saya, waktu sudah lebih dari 3 jam kok belum sampai-sampai juga? Pikirku informasi yang di internet meleset nih, kan katanya 3 jam. Jadi saya tanya sama driver kantor, sudah sampai apa belum, dan si driver menjawab masih jauh (yaaah gimana gak lama, habisnya bawanya kayak keong). Duuuuh mulai pusing nih butuh kantong, gara-gara lewatin bukit Soeharto, jalannya menanjak menurun dan berkelok-kelok tajam.
Akhirnya setelah hampir 5 jam menempuh perjalanan, kami tiba di Samarinda. Senang sekali, saya sudah berkhayal mau foto di sini, di sana, di mana-mana. Mobil Kami berjalan menyusuri sungai Mahakam, kita bisa melihat kapal-kapal tongkang yang hilir mudik mengangkut batu bara. Lalu ketemu dengan Islamic Center, masjid terbesar ke dua se Asia Tenggara. Lalu saya tanya sama atasan saya, ini sudah kota belum sih pak? Kok kelihatan sepi gini ya? Trus kecil lagi. Lalu atasan saya bilang, siapa bilang kotanya kecil, ini belum sampai ke pusat kota, kota Samarinda itu 1,5x lebih besar dari Kota Pontianak. Waaah jadi malu...
Kami disambut oleh team dari kantor Samarinda di sebuah restoran makanan Pontianak, ya eeelah, datang jauh-jauh ternyata makan makanan Pontianak. Katanya sih ini adalah salah satu tempat makan paling enak, tapi waktu aku coba makan agak-agak kecewa sih, gak seenak makanan di Pontianak.
Selesai makan kami menuju ke kantor cabang Samarinda, jalan yang kami lewati kali ini beda dengan jalan di sepanjang sungai Mahakam, jalannya begitu sempit, dan macet di mana-mana, sampah juga berserahkan di mana-mana.
Kemudian kami diantar ke kost-kostan di Jl. Basuki Rahmat. Betapa kecewanya sewaktu melihat tempat tinggalku itu, pokonya menurut orang Pontianak harga 1,5 juta itu gak sesuai dengan kualitas. Begitu buka pintu kamar, langsung ketemu dengan pintu kamar mandi di depannya. Lalu di sebelah kanan pintu masuk hanya ada 1 tempat tidur ukuran 120, tidak ada tv apalagi wifi. Pokoknya kamar paling sempit yang pernah saya liat, waktu tidur kepala berbentur dengan tembok, untung kaki ku gak panjang, kalo panjang bisa-bisa kaki ku harus dilipat saat tidur, pokonya tempat tidur dipagari tembok, sebelah kiri dinding kamar madi, sebelah kanan itu dinding kamar sebelah, kalau mau nutup pintu kamar mandi, kita harus geser kiri kanan dulu, baru deh pintunya tertutup.
Cukup sebulan tinggal di sana, akhirnya kami ketemu dengan kost-kostan baru, tempatnya agak terpencil, untungnya dengan 2 juta kami sudah dapat tempat tidur queen size, kamar mandi di dalam, tv kabel dan wifi. Nah tinggal di sini cukup betah, gak kayak orang udik lagi, bisa nonton berita juga.
Hidup di Samarinda itu serba mahal, karena saya orang Indonesia sejati, sehari 3x itu perut harus diganjal dengan nasi. Pagi hari saya biasanya makan Soto Banjar seharga 20 ribu, es teh 6 ribu atau makan nasi kuning seharga 15 s/d 35 ribu, tergantung isinya apa. Kalo cuma pake telor ya 15 ribu, kalo pake ayam n rendang lebih mahal lagi. Siang hari biasanya makan ikan nila bakar plus nasi putih dan sambal mangga itu harganya 45 ribu, tambah es teh 5 ribu, jadi total 50 ribu untuk makan siang. Kadang makan ikan yang di tim, nah yang ini super mahal nih, ikan bawal, nasi dan es teh seharga 80 ribu. Ikannya ukuran kecil loh ya, jadi jangan kira harga 80 ribu itu untuk orang sekampung. Trus kalau malam hari kadang-kadang makan ikan Nila goreng di warung lamongan, jangan kaget, harganya bisa 30 s/d 35 ribu untuk ikan dan nasi putih.
Yang paling sebel itu kalau mau isi BBM di pom bensin, antriannya bisa panjaaaang banget, kalau isi bensin cuma memakan waktu 20 menit, itu udah termasuk cepet loh. Heran banget kan, padahal Kalimantan Timur itu sumur minyak, tapi bensin langka banget, sampai-sampai harus antri panjang. Pertanyaan saya kemana larinya BBM itu? Makanya aku lebih sering isi bensin di kios emperan meskipun harganya jauh mahal, saat harga BBM masih Rp. 6,500 / liter, mereka jualnya 9 s/d 10 ribu per liter nya.
Pokoknya buat orang sana harga segitu itu gak mahal, standar katanya. Tapi kalau buat orang Pontianak itu udah mahal banget. Jadi saya berkesimpulan kenapa biaya hidup di sana sangat-sangat mahal, karena jarak tempuh ke kota itu terlalu jauh, lalu terlalu banyak perantau yang mencari rejeki di sana, karena KalTim itu terkenal dengan kekayaan Sumber Daya Alam nya, sehingga harga kost juga menggila. (pl)