Saya adalah seorang mantan penderita hipertiroid. Pada akhir 2014 saya dinyatakan positif hipertiroid, kemudian saya menjalani perawatan berupa obat-obatan lebih dari 1 tahun. Saya rutin kontrol TSHs FT3 FT4 setiap 3 bulan sekali. Pernah mengalami over dosis obat hingga divonis hipotiroid, kemudian dosis obatnya diturunin, balik lagi ke hipertiroid. Saya tidak pernah menyerah dan mengeluh walaupun harus minum obat super pahit setiap hari berkali-kali, hingga akhirnya pada september 2016 saya dinyatakan sehat dan normal.
Saya menikah pada Desember 2016, 3 bulan menikah tapi belum juga ada kabar baik, kemudian maret 2017 saya cek TSHs FT3 FT4 dan dinyatakan normal dan menurut dokter tidak masalah dengan kesehatan saya, bisa dan boleh hamil. Akhirnya 30 Mei 2017 saya positif hamil dan sudah masuk usia 4w. Senangnya, kemudian dokter menyarankan 2 minggu kemudian kembali untuk cek detak jantung, kalau tidak terdengar dengan USG maka harus dengan Transvagina. Sontak bikin saya takut, jadi saya molor-molorin waktunya, hingga tanggal 17 Jun 2017
Pada saat saya masuk ke ruang dokter, si dokter kaget sampe melotot ketika meliat wajah saya yg kelewat pucat, lalu dia pegang tangan dan ngeliatin tangan saya apa kurang darah, dan katanya saya kelewat anemia. Darah saya di tensi 90/60. Jadi mulailah aku disuruh baring untuk cek detak jantung. Gagal dengan USG, akhirnya dengan Transvagina, tetap saja tidak ada detak jantung. Dokter bilang janin saya tidak berkembang, tunggu 1 minggu lagi, kalau belum ada detak jantung juga, harus dikuret dan baru boleh hamil lagi setelah 3 bulan pasca kuret.
Air mata keluar seketika, tidak sanggup lagi berkata-kata. Dokter menjelaskan, kemungkinan bayi nya tidak berkembang bisa dikarenakan hipertiroid, bisa juga karena anemia. Namun pada bulan Maret, tiroidnya normal, kemungkinan ini karena anemia. Anemia parah yang saya alamai menyebabkan susah bernafas, sehingga janin saya kekurangan oksigen dan tidak mendapatkan aliran darah. Kemudian di sekitar rahim juga ada pendarahan. Suami saya bertanya, apa masih ada harapan? Tapi dokter menyampaikan sangat kecil harapan itu.
Kami pulang, sepanjang perjalanan saya menangis, merasa gagal karena tidak bisa jaga tubuh sendiri dan calon anak kami. Tapi suami saya menguatkan, mungkin ini baik adanya, dan macem2, meskipun saya juga melihat air mata dibalik kaca matanya.
Kami berserah namun belum menyerah, kami mencari second opinion dari dokter lain. Namun menurut dokter lainnya itu dikarenakan keputihan yg parah di saat kehamilan, sehingga meracuni janin. Dokter juga menyarankan kuret dan cutter untuk keputihannya itu. Akhirnya saya melakukan tindakan kuret pada 25 Juni 2017. Menurut dokter ini setelah 6 minggu sudah boleh hamil kembali.
Yang saya petik dari kejadian ini adalah seorang penderita hipertiroid tidak boleh menyerah pada saat diminta dokter untuk terapi obat, dan rutin lah cek darah (hormon tiroid), supaya dokter bisa memberikan obat yg tepat untuk terapi kita. Jangan malas untuk periksa ke dokter, sampaikan semua keluhanmu. Pasang alarm juga supaya ingat waktu untuk minum obat secara teratur di jam yang sama setiap harinya.
Dan untuk wanita, yakinlah begitu sembuh bisa langsung hamil, karena hormonnya kembali normal. Kerena ada perbedaan vonis dari kedua dokter tersebut, saya memutuskan untuk hamil setelah 3 bulan pasca kuret, dan selama 3 bulan itu saya berusaha menyembuhkan keputihan, maag, tiap hari konsumsi obat penambah darah, dan tidak lupa vitamin-e dan asam folat, serta tetap tidak lupa cek hormon tiroid.
Puji Tuhan pada 28 Oktober 2017 saya periksa ke dokter dan sudah positif hamil masuk usia 4 weeks sekian hari, dan pada 18 November 2017 detak jantung nya sudah terdengar kencang. Betapa terharunya aku dan suami, sampai saya meneteskan air mata.
Di lain kesempatan saya akan menceritakan kembali apa yang saya alami di kehamilan kali ini. Yaaah memang tidak semudah yang dipikirkan, perjuangan baru di mulai, belum happy ending. Tetap berdoa dan berharap semuanya baik-baik saja. (pl)